CARA MEMPERERAT HUBUNGAN SUAMI ISTERI
PERTAMA:
Saling Memberi Hadiah
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam (saw.) telah bersabda:
Saling
memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling cinta mencintai. [1]
Memberi hadiah merupakan
salah satu bentuk perhatian seorang suami kepada istrinya, atau istri kepada
suaminya. Terlebih bagi istri, hadiah dari suami mempunyai nilai yang sangat
mengesankan. Hadiah tidak harus mahal, tetapi sebagai simbol perhatian suami
kepada istri.
Seorang suami yang ketika
pulang membawa sekedar oleh-oleh kesukaan istrinya, tentu akan membuat sang
isteri senang dan merasa mendapat perhatian. Dan seorang suami, semestinya
lebih mengerti apa yang lebih disenangi oleh isterinya. Oleh karena itu, para
suami hendaklah menunjukkan perhatian kepada istri, diungkapkan dengan memberi
hadian meski sederhana.
KEDUA: Mengkhususkan Waktu
Untuk Duduk Bersama
Jangan sampai antara suami
istri sibuk dengan urusannya masing-masing, dan tidak ada waktu untuk duduk
bersama.
Ada pertanyaan yang
diajukan kepada Syaikh bin Baz. Ada seorang pemuda tidak memperlakukan isteri
dengan baik. Yang menjadi penyebabnya, karena ia sibuk menghabiskan waktunya
untuk berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan studi dan lainnya, sehingga
meninggalkan isteri dan anak-anaknya dalam waktu lama. Masalah ini ditanyakan
kepada Syaikh, apakah diperbolehkan sibuk menuntut ilmu dan sibuk beramal
dengan resiko mengambil waktu yang seharusnya dikhususkan untuk isteri?
Syaikh bin Baz menjawab
pertanyaan ini. Beliau menyatakan, tidak ragu lagi, bahwa wajib atas suami
untuk memperlakukan isterinya dengan baik berdasarkan firman Allah:
“…Pergaulilah
mereka dengan baik…”
[Q.S. an-Nisaa' 4:19]
Juga sebagaimana sabda Nabi
saw. kepada Abdullah bin ‘Amr bin Ash, yaitu manakala sahabat ini sibuk dengan
shalat malam dan sibuk dengan puasa, sehingga lupa dan lalai terhadap
isterinya, maka Nabi saw. berkata:
Puasalah
dan berbukalah. Tidur dan bangunlah. Puasalah sebulan selama tiga hari, karena
sesungguhnya kebaikan itu memiliki sepuluh kali lipat. Sesungguhnya engkau
memiliki kewajiban atas dirimu. Dirimu sendiri memiliki hak, dan engkau juga
mempunyai kewajiban terhadap isterimu, juga kepada tamumu. Maka, berikanlah
haknya setiap orang yang memiliki hak.
[Muttafaqun ‘alaihi]
Banyak hadits yang
menunjukkan adanya kewajiban agar suami memperlakukan isteri dengan baik. Oleh
karena itu, para pemuda dan para suami hendaklah memperlakukan isteri dengan
baik, berlemah-lembut sesuai dengan kemampuan.
Apabila memungkinkan untuk
belajar dan menyelesaikan tugas-tugasnya di rumah, maka lakukanlah di rumah,
sehingga, disamping dia mendapatkan ilmu dan menyelesaikan tugas, dia juga
dapat membuat isteri dan anak-anaknya senang.
Kesimpulannya, adalah
disyariatkan atas suami mengkhususkan waktu-waktu tertentu, meluangkan waktu
untuk isterinya, agar sang isteri merasa tentram, memperlakukan isterinya
dengan baik; terlebih lagi apabila tidak memiliki anak.
Rasulullah saw. bersabda
(artinya):
Sebaik-baik
kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya. Dan saya
adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.
[H.R. Tirmidzi]
Rasulullah saw. bersabda
(artinya):
Orang
yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka.
Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian.
[H.R. Tirmidzi]
Sebaliknya, seorang isteri
juga disyariatkan untuk membantu suaminya, misalnya menyelesaikan tugas-tugas
studi ataupun tugas kantor. Hendaklah dia bersabar apabila suaminya memiliki
kekurangan karena kesibukannya, sehingga kurang memberikan waktu yang cukup
kepada isterinya.
Berdasarkan firman Allah,
hendaklah antara suami dan isteri saling bekerja sama:
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…”
[Q.S. al-Maa'idah 5:2]
Juga berdasarkan keumuman
sabda Nabi saw.:
Allah
akan selalu menolong hambaNya selama hambaNya itu menolong saudaranya.
[H.R. Muslim - Diterjemahkan dari buku Fatawa Islamiyyah]
Nasihat Syaikh bin Baz
tersebut ditujukan kepada kedua belah pihak. Kepada suami hendaklah benar-benar
tidak sampai melalaikan, dan kepada isteri pun untuk bisa bersabar dan memahami
apabila suaminya sibuk bukan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Untuk para isteri, bisa
juga mengoreksi diri mereka. Mungkin di antara sebab suami tidak kerasan di
rumah karena memiliki isteri yang sering marah, selalu bermuka masam dan ketus
apabila berbicara.
KETIGA: Menampakkan Wajah
Yang Ceria
Di antara cara untuk
mempererat cinta kasih, hendaklah menampakkan wajah yang ceria. Ungkapan dengan
bahasa wajah, mempunyai pengaruh yang besar dalam kegembiraan dan kesedihan
seseorang. Seorang isteri akan senang jika suaminya berwajah ceria, tidak
cemberut. Secara umum Nabi saw. bersabda:
Sedikit
pun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa
dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria.
[H.R. Muslim]
Begitu pula sebaliknya,
ketika suami datang, seorang isteri jangan sampai menunjukkan wajah cemberut
atau marah. Meskipun demikian, hendaknya seorang suami juga bisa memahami kondisi
isteri secara kejiwaan. Misalnya, isteri yang sedang haidh atau nifas,
terkadang melakukan tindakan yang menjengkelkan. Maka seorang suami hendaklah
bersabar.
Ada pertanyaan dari seorang
istri yang disampaikan kepada Syaikh bin Baz, sebagai berikut:
“Suami
saya -semoga Allah memaafkan dia-, meskipun dia berpegang teguh dengan agama
dan memiliki akhlak yang tinggi serta takut kepada Allah, tetapi dia tidak
memiliki perhatian kepada saya sedikit pun. Jika di rumah, ia selalu berwajah
cemberut, sempit dadanya dan terkadang dia mengatakan bahwa sayalah penyebab
masalahnya.
Tetapi Allah-lah yang mengetahui bahwa saya –alhamdulillah- telah
melaksanakan hak-haknya. Yakni menjalankan kewajiban saya sebagai isteri. Saya
berusaha semaksimal mungkin dapat memberikan ketenangan kepada suami dan
menjauhkan segala hal yang membuatnya tidak suka. Saya selalu sabar atas
tindakan-tindakannya terhadap saya.
Setiap saya bertanya sesuatu kepadanya, dia selalu marah, dan dia mengatakan
bahwa ucapan saya tidak bermanfaat dan kampungan. Padahal perlu diketahui, jika
kepada teman-temannya, suami saya tersebut termasuk orang yang murah senyum.
Sedangkan terhadap saya, ia tidak pernah tersenyum; yang ada hanyalah celaan
dan perlakuan buruk. Hal ini menyakitkan dan saya merasa sering tersiksa dengan
perbuatannya. Saya ragu-ragu dan beberapa kali berpikir untuk meninggalkan
rumah.
Wahai Syaikh, apabila saya meninggalkan rumah dan mendidik sendiri anak-anak
saya dan berusaha mencari pekerjaan untuk membiayai anak-anak saya sendiri,
apakah saya berdosa? Ataukah saya harus tetap tinggal bersama suami dalam
keadaan seperti ini, (yaitu) jarang berbicara dengan suami, (ia) tidak bekerja
sama dan tidak merasakan problem saya ini?“
Dijawab oleh Syaikh bin
Baz:
Tidak
diragukan lagi, bahwa kewajiban atas suami isteri ialah bergaul dengan baik dan
saling menampakkan wajah penuh dengan kecintaan. Dan hendaklah berakhlak dengan
akhlak mulia, (yakni) dengan menampakkan wajah ceria, berdasarkan firman Allah:
“…Pergaulilah
mereka dengan baik…” [Q.S. an-Nisaa' 4:19]
Juga
dalam surat al-Baqarah ayat 228:
“Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi,
para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isteri.”
Arti
kelebihan disini, secara umum laki-laki lebih unggul daripada wanita. Tetapi
nilai-nilai yang ada pada setiap individu di sisi Allah, tidak berarti
laki-laki pasti derajatnya lebih tinggi. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Dan
berdasarkan sabda Nabi saw.:
“Kebaikan
itu adalah akhlak yang baik.” [H.R. Muslim]
Dan
berdasarkan sabda Nabi saw.:
“Sedikitpun
janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa
dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria.” [H.R. Muslim]
Juga
berdasarkan sabda Nabi saw.:
“Orang
yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka.
Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian.”
[H.R. Tirmidzi]
Ini
semua menunjukkan, bahwa motivasi berakhlak yang baik dan menampakkan wajah
ceria pada saat bertemu serta bergaul dengan baik kepada kaum Muslimin, berlaku
secara umum; terlebih lagi kepada suami atau isteri dan kerabat.
Oleh
karena itu, engkau telah berbuat baik dalam hal kesabaran dan ketabahan atas
penderitaanmu, yaitu menghadapi kekasaran dan keburukan suamimu.
Saya
berwasiat kepada dirimu untuk terus meningkatkan kesabaran dan tidak
meninggalkan rumah di karenakan hal itu. Insya Allah akan mendatangkan kebaikan
yang banyak. Dan akibat yang baik, insya Allah diberikan kepada orang-orang
yang sabar.
Banyak
ayat yang menunjukan, barangsiapa yang bertakwa dan sabar, maka sesungguhnya
balasan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa. Dan sesungguhnya Allah
akan memberi ganjaran yang besar tanpa hisab kepada oraang-orang yang sabar.
Tidak
ada halangan dan rintangan untuk bercanda dan bergurau, serta mengajak bicara
suami dengan ucapan-ucapan yang dapat melunakkan hatinya, dan yang dapat
menyebabkan lapang dadanya dan menumbuhkan kesadaran akan hak-hakmu.
Tinggalkanlah
tuntutan-tuntutan kebutuhan dunia (yang tidak pokok) selama sang suami
melaksanakan kewajiban dengan memberikan nafkah dari kebutuhan-kebutuhan yang
pokok, sehingga ia menjadi lapang dada dan hatinya tenang. Engkau akan merasakan
balasan yang baik, insya Allah.
Semoga
Allah memberikan taufiq kepada dirimu untuk mendapatkan kebaikan dan
memperbaiki keadaan suamimu. Semoga Allah membimbingnya kepada kebaikan dan
memperbaiki akhlaknya. Semoga Allah membimbingnya untuk dapat bermuka ceria dan
melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada isterinya dengan baik. Sesungguhnya,
Allah adalah sebaik-baik yang diminta, dan Dia adalah pemberi hidayah kepada
jalan yang lurus. [Dinukil dari buku Fatawa Islamiyyah]
Ini menunjukkan, bahwa
seorang wanita diperbolehkan untuk mengeluh dan menyampaikan problemnya kepada
orang yang alim, atau orang yang dianggap bisa menyelesaikan masalahnya. Hal
ini tidak sama dengan sebagian wanita yang sering, atau suka menceritakan
rahasia rumah tangganya, termasuk kelemahan dan keburukan suaminya kepada orang
lain, tanpa bermaksud menyelesaikan masalahnya.
Sehubungan dengan
permasalahan ini, Syaikh ‘Utsaimin mengatakan, bahwa apa yang disampaikan oleh
sebagian wanita, yang menceritakan keadaan rumah tangganya kepada kerabatnya,
bisa jadi (kepada) orang tua isteri atau kakak perempuannya, atau kerabat yang
lainnya, bahkan kepada teman-temannya, (hukumnya) adalah diharamkan.
Tidak halal bagi seorang
wanita membuka rahasia rumah tangganya dan keadaan suaminya kepada seorang pun.
Karena seorang wanita yang shalihah ialah, yang bisa menjaga dan memelihara
kedudukan martabat suaminya. Nabi saw. telah memberitakan, seburuk-buruk
manusia kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat ialah, seorang laki-laki
yang suka menceritakan keburukan isterinya, atau seorang wanita yang
menceritakan keburukan suaminya.
Meski demikian, jangan
dipahami bahwa secara mutlak seorang wanita tidak boleh menceritakan keburukan
seorang suami. Karena, pada masa Nabi pun ada seorang wanita yang datang kepada
Rasulullah saw. dan berkata: “Ya, Rasulullah. Suami saya adalah orang yang
kikir, tidak memberikan nafkah yang cukup bagi saya. Bolehkah saya mengambil
darinya tanpa sepengetahuannya untuk sekedar mencukupi kebutuhan saya dan anak
saya?”
Mendengar penuturan orang
ini, Nabi saw. menjawab:
Ambillah
nominal yang mencukupi kebutuhanmu dan anakmu.
[Muttafaqun ‘alaihi]
KEEMPAT: Memberikan
Penghormatan Dengan Hangat Kepada Pasangannya
Memberikan penghormatan
dengan hangat kepada pasangannya, baik ketika hendak pergi keluar rumah,
ataupun ketika pulang. Penghormatan itu, hendaklah dilakukan dengan mesra.
Dalam beberapa hadits
diriwayatkan, ketika hendak pergi shalat, Rasulullah saw. mencium isterinya
tanpa berwudhu lagi dan langsung shalat. Ini menunjukkan, bahwa mencium isteri
dapat mempererat hubungan antara suami isteri, meluluhkan kebekuan ataupun
kekakuan antara suami isteri. Tentunya dengan melihat situasi, jangan dilakukan
di hadapan anak-anak.
Perbuatan sebagian orang,
ketika seorang isteri menjemput suaminya yang datang dari luar kota atau dari
luar negeri, ia mencium pipi kanan dan pipi kiri di tempat umum. Demikian ini
tidak tepat.
Memberikan penghormatan
dengan hangat tidak mesti dengan mencium pasangannya. Misalnya, seorang suami
dapat memanggil isterinya dengan baik, tidak menjelek-jelekkan keluarganya,
tidak menegur isterinya di hadapan anak-anak mereka. Atau seorang isteri, bila
melakukan penghormatan dengan menyambut kedatangan suaminya di depan pintu.
Apabila suami hendak bepergian, istri menyiapkan pakaian yang telah disetrika
dan dimasukkannya ke dalam tas dengan rapi.
Suami hendaknya menghormati
isterinya dengan mendengarkan ucapan isteri secara seksama. Sebab terkadang,
ada sebagian suami, jika isterinya berbicara, ia justru sibuk dengan hand
phone-nya mengirim sms atau sambil membaca koran. Dia tidak serius mendengarkan
ucapan isteri. Dan jika menanggapinya, hanya dengan kata-kata singkat. Jika
isteri mengeluh, suami mengatakan “hal seperti ini saja dipikirkan!”
Meskipun sepele atau ringan,
tetapi hendaklah suami menanggapinya dengan serius, karena bagi isteri mungkin
merupakan masalah yang besar dan berat.
KELIMA: Hendaklah Memuji
Pasangannya
Di antara kebutuhan manusia
adalah keinginan untuk dipuji -dalam batas-batas yang wajar. Dalam masalah
pujian ini, para ulama telah menjelaskan[2], bahwa pujian diperbolehkan
atau bahkan dianjurkan dengan syarat-syarat: untuk memberikan motivasi, pujian
itu diungkapkan dengan jujur dan tulus, dan pujian itu tidak menyebabkan orang
yang dipuji menjadi sombong atau lupa diri.
Abu Bakar As Siddiq
Radhiyallahu ‘anhu (ra.) pernah dipuji, dan dia berdo’a kepada Allah: “Ya,
Allah. Janganlah Engkau hukum aku dengan apa yang mereka ucapkan. Jangan
jadikan dosa bagiku dengan pujian mereka, jangan timbulkan sifat sombong.
Jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka, dan ampunilah aku atas
perbuatan-perbuatan dosa yang mereka tidak ketahui”.
Perkatanan ini juga
diucapkan oleh Syaikh Al Albani ketika beliau dipuji-puji oleh seseorang di
hadapan manusia. Beliau menangis dan mengucapkan perkataan Abu Bakar tersebut
serta mengatakan: “Saya ini hanyalah penuntut ilmu saja”.
Seorang isteri senang
pujian dari suaminya, khususnya di hadapan orang lain, seperti keluarga suami
atau isteri. Dia tidak suka jika suami menyebutkan aibnya, khususnya di hadapan
orang lain. Jika masakan isteri kurang sedap jangan dicela.
KEENAM: Bersama-sama
Melakukan Tugas Yang Ringan
Di antara kesalahan
sebagian suami ialah, mereka menolak untuk melakukan sebagian tugas di rumah.
Mereka mempunyai anggapan, jika melakukan tugas di rumah, berarti mengurangi
kedudukannya, menurunkan atau menjatuhkan kewibawaannya di hadapan sang isteri.
Pendapat ini tidak benar.
Nabi saw. melakukan
tugas-tugas di rumah, seperti menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki
sandalnya dan melakukan tugas-tugas di rumah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam Musnad-nya dan terdapat dalam Jami’ush Shaghir. Terlebih lagi
dalam keadaan darurat, seperti isteri sedang sakit, setelah melahirkan.
Terkadang isteri dalam keadaan repot, maka suami bisa meringankan beban isteri
dengan memandikan anak atau menyuapi anak-anaknya. Hal ini, disamping
menyenangkan isteri, juga dapat menguatkan ikatan yang lebih erat lagi antara
ayah dan anak-anaknya.
KETUJUH: Ucapan Yang Baik
Kalimat yang baik adalah
kalimat-kalimat yang menyenangkan. Hendaklah menghindari kalimat-kalimat yang
tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan. Seorang suami yang menegur isterinya
karena tidak berhias, tidak mempercantik diri dengan celak dimata, harus dengan
ucapan yang baik.[3]
Misalnya
dengan perkataan: “Mengapa engkau tidak memakai celak?” Isteri menjawab
dengan kalimat yang menyenangkan: “Kalau aku memakai celak, akan mengganggu
mataku untuk melihat wajahmu.”
Perkataan yang demikian
menunjukkan ungkapan perasaan cinta isteri kepada suami. Ketika ditegur, ia
menjawab dengan kalimat menyenangkan.
Berbeda
dengan kasus lain. Saat suami isteri berjalan-jalan di bawah bulan purnama,
suami bertanya: “Tahukah engkau bulan purnama di atas?” Mendengar
pertanyaan ini, sang isteri menjawab: “Apakah engkau lihat aku buta?”
KEDELAPAN: Perlu Berekreasi
Berdua Tanpa Membawa Anak
Rutinitas pekerjaan suami
di luar rumah dan pekerjaan isteri di rumah membuat suasana menjadi jenuh.
Sekali-kali diperlukan suasana lain dengan cara pergi berdua tanpa membawa
anak. Hal ini sangat penting, karena bisa memperbaharui cinta suami isteri.
Kita mempunyai anak, lantas
bagaimana caranya? Ini memang sebuah problem. Kita cari solusinya, jangan
menyerah begitu saja.
Bukan berarti setelah mempunyai
anak banyak tidak bisa pergi berdua. Tidak! Kita bisa meminta tolong kepada
saudara, kerabat ataupun tetangga untuk menjaga anak-anak, lalu kita dapat
pergi bersilaturahmi atau belanja ke toko dan lain sebagainya. Kemudian pada
kesempatan lainnya, kita pergi berekreasi membawa isteri dan anak-anak.
KESEMBILAN: Hendaklah
Memiliki Rasa Empati Pada Pasangannya
Rasulullah saw.bersabda:
Perumpamaan
kaum mukminin antara satu dengan yang lainnya itu seperti satu tubuh. Apabila
ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota tubuh yang lain pun ikut
merasakannya sebagai orang yang tidak dapat tidur dan orang yang terkena
penyakit demam. [4]
Ini berlaku secara umum
kepada semua kaum Muslimin. Rasa empati harus ada. Yaitu merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain, termasuk kepada isteri atau suami. Jangan sampai
suami sakit, terbaring di tempat tidur, isteri tertawa-tawa di sampingnya,
bergurau, bercanda. Begitu pula sebaliknya, jangan sampai karena kesibukan,
suami kemudian kurang merasakan apa yang dirasakan oleh isteri.
KESEPULUH: Perlu Adanya
Keterbukaan
Keterbukaan antara suami
dan isteri sangat penting. Di antara problem yang timbul di keluarga, lantaran
antara suami dan isteri masing-masing menutup diri, tidak terbuka menyampaikan
problemnya kepada pasangannya. Yang akhirnya kian menumpuk. Pada gilirannya
menjadi lebih besar, sampai akhirnya meledak.
Inilah sepuluh tips untuk
merekatkan hubungan suami-istri, sehingga biduk rumah tangga tetap harmonis dan
tenteram. Semoga bermanfaat, menjadi bekal keharmonisan keluarga.